Jihad Selfie: Kegalauan Remaja dan Pentingnya Keluarga



Baru kemarin saya menonton film dokumenter Jihad Selfie di Kineforum. Ini adalah pertama kalinya saya menonton di Kineforum dengan penonton yang cukup banyak. Saya sudah sampai di TIM (Taman Ismail Marzuki) pada pukul 17.00 dari Kampus UI Depok. Pada awalnya saya tidak mau langsung ke Kineforum karena loket baru dibuka satu jam sebelum film dimulai dan film diputar pukul 19.30, tapi pesan singkat dari seorang teman membuat kaki saya melangkah ke bioskop komunitas tersebut.

Antrian sekitar 20 orang sudah terjadi untuk menonton Jihad Selfie. Lima menit kemudian, sudah ada 10 orang yang mengantri di belakang saya. Kalau begini ceritanya, tidak mungkin saya pergi-pergi untuk cemal-cemil atau sekedar melanjutkan mengetik catatan lapangan di lingkungan Taman Ismail Marzuki. Animo masyarakat cukup besar juga. Penonton didominasi para ibu-ibu setengah baya yang kemungkinan memiliki anak pra remaja atau remaja. Mungkin mereka penasaran dengan konten filmnya dan menjadikan suatu pembelajaran untuk mendidik dan menjaga anak-anak mereka.

Awal film dimulai dengan cuplikan bom teror di Sarinah di awal tahun 2016. Rasanya seperti saya menonton TV series DTK (Dunia Tanpa Koma) saja pada sekitar tahun 2006. Ya, mungkin karena ada unsur politik dan kriminalitas juga didalamnya.

Film Jihad Selfie disutradarai oleh Noor Huda Ismail, seorang pengamat terorisme. Ia menyelesaikan gelar PhD di Melbourne, Australia di bidang Politik dan Hubungan Internasional. Dalam film, pada saat masih di Melbourne ia terbang ke Turki untuk melakukan riset (yang didokumentasikan dalam film ini) tentang perekrutan anggota ISIS. Di awal film juga ada sisipan data jumlah anggota ISIS. Ada 200 orang anggota ISIS di Australia, 500 orang dari Indonesia, 150 orang dari Malaysia (CMIIW). Mungkin presentasinya terlihat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk negara-negara tersebut, tapi yang kecil-kecil ini cukup menggetarkan juga. Ya coba saja lihat beberapa aksi yang dilakukan, Bom Bali 1 & 2, Bom di Sarinah, dan beberapa tindak kriminalitas dan kekerasan lainnya.

Pada saat di Kayseri, Turki, ia bertemu dengan Akbar, remaja dari Aceh. Karena sesama orang Indonesia ini yang membuat mereka pada akhirnya ngobrol dan makan bersama. Seperti biasa, dari meja makan timbullah cerita. Akbar bercerita tentang dirinya yang mulai direkrut untuk pergi Syria mengikuti pelatihan militer. Cerita dari Akbar yang menurut saya menarik disertai juga analisis perekrutan dari Noor Huda.


Ada dua macam pola perekrutan. Perekrutan pertama melalui dakwah dan pendidikan agama. Perekrutan kedua lebih modern karena melalui sosial media. Sebagai orang yang dilahirkan dari keluarga bukan muslim, saya kurang begitu memahami doktrin jihad dan mati syahid. Kalau dalam agama dan kepercayaan saya, adanya mati martir. Sering juga dikutip oleh Bapak Gubernur kita, Ahok dan dikutip dalam batu nisan ayah saya,
"Karena bagiku hidup adalah kesempatan mengabdi kepada Al-Masih, dan mati adalah keuntungan." (KS Filipi 1:21)
Ya, pada akhirnya kedua agama itu dalam rasionalitasnya menawarkan bahwa kematian bukanlah hal yang menyeramkan, tapi mati yang seperti apa, keduanya berbeda jika dari apa yang saya ketahui dari film kemarin dan diskusi. Penanaman doktrin mati syahid ini sepertinya memang diajarkan pada pondok pesantren dan madrasah. Walaupun begitu ya tidak semua orang juga berani mati.

Kembali kepada film, yang menjadi titik berat adalah perekrutan melalui media sosial. Zaman yang katanya abad milenium dengan teknologi komunikasi dan informasi yang cepat juga mempercepat peredaran doktrin jihad dan mati syahid yang sering didengungkan oleh kelompok itu. Agak sulit bagi saya untuk menaruh kelompok radikalisme karena setiap orang yang menganut kepercayaannya dan mempengaruhi juga kehidupannya, saya sebut radikal karena berasal dari kata dasarnya radix atau akar, kepercayaan tersebut mengakar kuat dan menuntun orang dalam berpikir dan bertingkah laku. Ok, mungkin ini hanya pendapat subjektif saya saja. Sebenarnya penyebaran doktrin ini tidak serta merta ada pada media sosial, masih ada pola lama yang (mungkin) tanpa disadari berkembang melalui pendidikan agama, tapi pesan dari si pengajar dengan si murid tidak sampai dengan utuh, bagaikan orang yang bermain kuda bisik (To be honest, ini mengingatkan saya dengan linguistik, kognisi, dan komunikasi).

Mungkin bagi yang membaca bingung mengapa saya menggunakan kata mungkin dalam tanda kurung dan menggunakan kata tanpa disadari. Dalam film juga ditunjukkan sebuah Pondok Pesantren di Lamongan yang dalam setiap doktrin dan pengajaran, walaupun sama seperti pondokan lainnya, juga menambahakan latihan persenjataan, bagaimana menggunakan senjata, merakit bom, dll. Walaupun demikian, pondok pesantren ini tidak ada keterkaitan dengan gerakan-gerakan kekerasan yang menunggangi agama Islam baik di Indonesia maupun di dunia. Sayangnya, beberapa lulusannya justru tergabung dengan kelompok-kelompok tersebut. Dalam film disebutkan ada lima orang yang tergabung dalam gerakan tersebut. Kurikulum dalam Pondok Pesantren tersebut tidak sama dengan kurikulum standar pemerintah (apa mungkin seperti sekolah internasional? Saya juga tidak begitu memahami sistem dan kebijakan pendidikan negara kita). Sekarang Pondok Pesantren tersebut tidak beroperasi lagi.

Remaja Galau
Semua orang tua pasti mengalami sebagai remaja. Saya pun sebagai orang dewasa muda juga baru beberapa tahun lalu mengalami masa remaja dan pada masa inilah ada sebuah masa transisi yang menimbulkan kegalauan terlebih masalah identitas diri.

Akbar sebagai seorang remaja yang dididik dalam agama Islam yang cukup "saklek" dan menuntut ilmu hingga ke negeri orang (Alhamdulilah, dia seorang adik yang cerdas) juga mengalami masa galau. Mungkin karena terlalu pintar, ia bosan dengan kehidupan sekolah yang statis. Hal yang biasa terjadi bagi para remaja, cepat bosan dan ingin mencoba hal yang baru.

Salah satu hobi Akbar adalah bermain game online. Saya yakin bahwa hampir semua remaja di Indonesia yang sudah terkena dan memiliki akses internet memiliki hobi demikian. Sejak saya SMP, saya tidak asing lagi mendengar teman-teman, sepupu, dan juga adik saya sendiri yang bermain PB (Point Blank) dan Dotta. Bagi para anak laki-laki tanggung bahkan mungkin laki-laki dewasa adalah hal yang asik dan seru, bagi saya sih bosan. Apa sih hebatnya dari keyboard main tembak-tembakkan, trus ada yang mati. Ya, itu hanya selera dan hobi saja. Haha....

Pembentukan maskulinitas secara klasik memang dikenakan kepada anak laki-laki dengan berolahraga dan bermain perang-perangan. Kalau zaman dulu, dilakukan man to man, kalau sekarang dalam dunia maya. Lebih aman juga toh? Belum tentu. Saya teringat sebuah diskusi pada saat SMA bersama teman (geng) SMA bahwa apa yang dilakukan seseorang timbul dari dalam hati. Sebelum ia melakukan sesuatu, itu semua sudah terjadi dalam pikiran dan hatinya. Pada beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah renungan Kristen bahwa mata adalah jendela untuk berkehendak, jadi perhatikan matamu. So, apa yang dilihat mata, timbul di dalam hati. Keingingan hati yang kuat akan berlanjut pada tindakan dan perilaku. Jadi, dari dunia maya bisa jadi akan berlanjut ke realita.

Tidak hanya game online, Akbar juga suka bergaul dalam ruang-ruang maya. Facebook adalah salah satu media sosial yang menjadi andalan. Melalui media sosial dalam lingkaran jaringan sosialnya, intelek muslim, (Baiklah, saya mulai teringat kuliah jaringan sosial yang ternyata banyak digunakan dalam Ilmu Kepolisisan) ia melihat foto Yazid yang sedang memegang senjata AK 47."Gagah kali lah itu," kata Akbar dalam film tersebut ketika menceritakan soal Yazid yang ia lihat melalui facebook. Jaringan pergaulan Akbar terus berkembang, ia melihat contoh-contoh pemuda lain yang direkrut untuk pergi Syria.

Apa yang ia lihat dengan konsep maskulin melekat pada Akbar dan menimbukan hasrat dalam hatinya. Sebuah pepatah pernah ia dengar, "Hidup mulia atau Mati Syahid." Ia berpikir daripada bosan sekolah karena ia mendapatkan pencapaian yang bagus dalam setiap pelajaran dan kompetisi, lebih baik mati syahid. Keinginan ini seperti melekat pada Akbar, sampai terbawa mimpi.

Berjihad juga menawarkan keuntungan bagi Akbar. Selain menjadi pahlawan dalam agama, ia akan mendapat 72 bidadari cantik ketika di sorga nanti.

Keluarga
Dari diskusi setelah film, saya memperhatikan ada komunikasi yang baik antar keluarga Akbar. Saat itu hadir Akbar beserta kedua orang tuanya. Mereka berbagi lebih banyak soal parenting kepada para penonton yang hadir.

Ibu Akbar adalah seorang guru di pesisir Aceh (8 jam dari kota Aceh). Selelah apa pun, ia selalu menyempatkan komunikasi dengan anak-anaknya, demikian juga dengan ayahnya. Semua pelajaran termasuk mengaji diajarkan sendiri oleh Ibu Akbar ke anak-anaknya. Kalau tidak sanggup lagi, ia yang mengantarkan anaknya untuk belajar kepada orang lain. Memang tidak diceritakan secara jelas kedekatan antara orang tua Akbar dengan Akbar, tapi saya melihat dari respon Akbar yang akhirnya memutuskan tidak berangkat ke Syria.

Ketika di Turki, Ibu Akbar selalu berkabar agar anaknya sekolah dengan baik disana. Beberapa kali Akbar juga cerita tentang teman-temannya yang pergi ke Syria atau ketertarikan teman-temannya untuk tergabung dalam ISIS. Ibu Akbar yang mengetahui hanya terus berpesan bahwa ridho darinya hanyalah agar Akbar menuntut ilmu, bukan yang lain.

Negosiasi yang terjadi dalam diri Akbar untuk ke Syria adalah izin orang tua. Ketika hal ini disampaikan oleh orang yang mengajak, ia diberi artikel orang-orang yang berjihad dan itu semua diperbolehkan walaupun tidak minta izin orang tua. Bahkan ada juga yang sudah tergabung, mempersembahkan jihadnya kepada orang tua. Namun, ketika ia memutuskan untuk tidak pergi, yang teringat pada diri Akbar adalah sebuah hadits yang menuliskan Ridha terhadap orang tua.
Dari Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (Hasan. at-Tirmidzi : 1899,  HR. al-Hakim : 7249, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir : 14368, al-Bazzar : 2394)
Sumber: https://muslim.or.id/26936-silsilah-faedah-hadits-adab-dan-akhlak-2-ridha-orang-tua.html

Semua yang diizinkan Allah akan terjadi disertai dengan ridha dari orang tua. Karena hal tersebut, ia tidak jadi berangkat ke Syria dan melanjutkan sekolahnya di Kayseri.

Ridha terhadap orang tua juga ada dalam Taurat Nabi Musa,
"Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang dikaruniakan ALLAH, Tuhanmu, kepadamu." (KS Keluaran 20:12)
dan pada Kitab Suci Efesus
"Hai anak-anak, turutilah perintah orang tuamu dalam Tuhan, karena itulah yang benar." (KS Efesus 6:1)

Berpikir Kritis
Dalam kegalauan seoarang anak muda untuk dapat mengikuti perintah agama diikuti pula oleh logika berpikir sebagaimana manusia berpikir, Akbar sadar dengan kemampuannya yang luar biasa dari Allah. Menurutnya sekarang bahkan lebih baik berjihad dengan pena karena baru beberapa bulan di Turki, ia sudah memenangkan esai dalam bahasa Turki dan menulis buku yang ia promosikan (maafkan saya Akbar, promosi itu baik kok kalau untuk hal yang baik dan mulia) saat acara selesai. Dibandingkan mati begitu saja, lebih baik hidup dengan memberi.

Tujuh puluh dua bidadari cantik yang akan menemaninya nanti juga tidak menghalanginya untuk pergi ke Syria. Katanya sih lebih baik seorang bidadari cantik saat ini. Guyonan sehat mengocok perut yang realistis.

Berpikir kritis seperti itu (mungkin) jarang dilakukan oleh generasi muda masa kini. Perkembangan media dan masuknya informasi yang begitu cepat, sulit memberi ruang berpikir dan mengendapkan segala pengetahuan yang masuk. Pengguna teknologi komunikasi dan informasi sendiri paling banyak adalah anak muda yang diklasifikasikan dalam generasi Y dan Z.

Seorang teman yang berprofesi sebagai dokter mengatakan bahwa, anak yang tidak melihat TV pada saat masih kecil atau jarang menonton TV memiliki daya tangkap lebih baik dibandingkan anak-anak yang sudah diperkenal TV pada saat masih kecil. Anak tersebut terbiasa untuk menerima sesuatu secara cepat dan instan tanpa harus berusaha lebih keras karena sudah memberikan jawaban akhir dari segala permasalahan. TV adalah alat elektronik jadul untuk masa kini, namun dibandingkan TV, pergerakkan internet tentu lebih cepat. Dari setiap premis yang ada tentu kalian bisa mengerti sendiri kesimpulannya apa.

Berpikir kritis dalam hal menanggapi Jihad Selfie dapat menjadi sebuah proteksi dalam tawaran yang beraneka ragam. Di sisi lain berpikir kritis merangsang juga daya pikir kreatif untuk merubah hidup menjadi lebih baik dan lebih bermakna, tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi dunia. Saya menyukai sebuah kutipan dari Akbar, "Being world citizen and proud to be muslim." Kalau moto saya pribadi sih "Being world citizen with Christian Worldview."

Tidak ada yang salah dengan media dan internet. Segala sesuatu dapat menjadi baik atau buruk. Bagaimana manusia menyikapi dan bagaimana orang tua mendidik dan mensosialisasikan segala sesuatu kepada anak-anaknya. Hal ini juga tergantung dari cara pandang hidup (worldview) seseorang. Komunikasi dan keintiman orang tua-anak sangat diperlukan, bukan hanya sekedar untuk konstruksi dan kontrol, tapi membantu anak-anak agar dapat survive hidup kedepannya. Dalam beberapa hal saya tidak begitu masalah dengan konstruksi, toh manusia perlu konstruksi juga dalam kehidupannya.

Tugas orang tua tidak lagi sekedar memenuhi kehidupan anak, atau mengedukasi tentang narkotika dan seks bebas, tapi ada banyak hal. Up to date dan kekinian tidak hanya diperlukan oleh anak muda, tapi oleh semua orang karena manusia yang "eksis" adalah manusia yang hidup pada masa kini dengan perkembangan dunia masa kini, bukan manusia yang hidup di masa lalu yang terjebak dalam ruang nostalgia (jadi judul lagu) atau manusia masa depan. Ya, sepatutnya bijak juga, belajar dari masa lalu boleh banget untuk survive masa kini dan mempersiapkan dan menata masa depan.

Comments

Popular posts from this blog

Indie Book Shop Tour: Wisata Asik Bagi Para Pecinta Buku

Diam & Dengarkan: Katarsis dalam Sebuah Retreat di Balik Layar Kaca

Ereveld Menteng Pulo-Kuburan Bersejarah di tengah Ibu Kota