Diam & Dengarkan: Katarsis dalam Sebuah Retreat di Balik Layar Kaca

Diam & Dengarkan - YouTube

Menonton film jadi salah satu kegiatan lambat yang membuat saya berpikir lebih dalam untuk memeperhatikan hal-hal kecil yang terlewat seperti seting tempat, lagu yang digunakan, atau pun gerakan kamera untuk mengkomunikasikan sesuatu. Selama lebih banyak melakukan aktifitas di rumah, salah satu yang saya lakukan adalah menonton film, tapi baru kali ini saya langsung menulis sebuah refleksi setelah menonton sebuah film, "Diam & Dengarkan" produksi Anatman Pictures.

Industri hiburan jadi salah satu yang terbatasi atas situasi yang terjadi. Beberapa pekerja kreatif, mengerahkan kreatifitas mereka dalam situasi terbatas untuk tetap berkarya. Dian Sastrowardoyo dalam sebuah wawancara menceritakan tantangan dunia perfilman di situasi pandemi. Eksekusi syuting biasanya berpindah-pindah lokasi, yang kemudian mendadak jadi tempat wisata, sekarang fokus kepada cerita dan akting pemain, sebagai bagian paling esensial dari film, walaupun hanya diambil dari satu tempat saja atau menggabungkan beberapa potongan gambar yang pernah direkam dalam waktu dan situasi yang berbeda.

Di masa pandemi dimana pelarangan aktifitas berkumpul secara fisik, membuat pengambilan gambar juga tidak dapat dilakukan. Anatman pictures, mengambil potongan-potongan gambar dari berita, sumber-sumber dengan bebas hak cipta, dan perekaman pertemuan online jadi warna yang menarik dari film dokumenter ini. Perpaduan antara narasi, hasil wawancara, dan potongan-potongan dari berita atau film dapat menghantarkan pesan yang ingin disampaikan.

Film "Diam & Dengarkan" saya ketahui dari salah satu Instagram Story teman kuliah saya dulu. Secuplik komentar menarik yang bahkan saat ini saya lupakan, yang menghantarkan saya menonton film ini, selain dapat ditonton secara gratis di Youtube. Selama sekitar 90 menit film dokumenter ini berjalan, seakan saya sedang beribadah. Godaan untuk membuka Instagram dan langsung share film, enggan untuk dilakukan. Duduk diam di kamar sambil memandang layar kaca untuk memahami apa yang ingin disampaikan.

Ada 6 babak besar yang dimulai dari April hingga Juli 2020 dibawakan dari film ini. Lima babak dalam film ini adalah "Heal The World" series yang telah mereka publikasikan sebelumnya.

Babak 1 "Kiamat yang Tak Terhindarkan" dinarasikan Christine Hakim mengingatkan kesombongan manusia terhadap alam semesta dan perasaan dapat mengalahkan makhluk lain di bumi."Mens Sana In Corpore Sano" dinarasikan Dennis Adhiswara sebagai babak kedua menceritakan hal yang serupa dengan judulnya. Kesehatan jiwa tidak lepas dari kesehatan manusia secara utuh. Babak selanjutnya adalah "Kerajaan Plastik" dinarasikan Arifin Putra. Bukan hanya berkisar peperangan manusia terhadap plastik, tapi kurangnya berkesadaran kita akan konsumsi. Plastik yang tadinya sebagai bahan substitusi untuk menyelamatkan lingkungan, sekarang keadaan jadi sebaliknya. Babak 4, "Air, Sumber (Gaya) Hidup" dinarasikan Eva Celia, yang juga salah satu lagunya menjadi soundtrack film ini, mengingatkan air sebagai sumber hidup yang kita anggap tidak terbatas, tapi sebenarnya terbatas. Sebagai sumber hidup, tanpa sadar banyak hal yang kita kenakan atau konsumsi membutuhkan air, tapi kita kurang bersahabat dengan air. Babak kelima, "Kehutanan Yang Maha Esa" dinarasikan Nadine Alexandra mengingatkan bahwa manusia yang suka keseragaman, padahal kita tercipta beragam termasuk keberagaman biodervisitas. Penyeragaman ini membuat kita jadi gagap untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang menopang kita untuk hidup. Babak terakhir "Samudra Cinta" dinarasikan Andien Syah memaparkan keterkaitan antara kebahagiaan dan uang.

Setiap babak dalam film dokumenter ini seperti sebuah aktifitas spiritual yang mengingatkan tentang ketamakan dan kesombongan manusia. Selain itu juga mengingatkan pentingnya kesadaran atas setiap keputusan yang akan kita ambil. Keputusan saat ini menentukan hidup berikutnya. Tidak hanya diri sendiri, tapi juga orang lain. Berkesadaran atau yang saat ini sering disebut dengan mindfulness bukan sekedar gaya hidup masyarakat kota yang memerlukan ketenangan, tapi memahami tanda-tanda yang hadir sebagai alarm ketidak seimbangan. Seringkali kita menjadi orang yang masa bodoh dan terjebak dalam kebiasaan-kebiasaan kurang tepat yang dianggap paling tepat.

Hidup cukup dan bersyukur bukan hanya pengajaran spiritualitas belaka, tapi sebuah pengamalan untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Kerap kali kerusakan terjadi hanya karena keinginan untuk mencapai lebih, lebih, dan lebih lagi dari apa yang secukupnya kita dapatkan. Seringkali kita lupa dan kurang memaksimalkan apa yang dimiliki, lebih memilih untuk mengambil sesuatu hanya karena perasaan "tidak punya." Film ini membawakan refleksi tentang hal-hal esensial yang terlupa hanya karena kebutuhan aktualisasi diri.

Comments

Popular posts from this blog

Indie Book Shop Tour: Wisata Asik Bagi Para Pecinta Buku

Ereveld Menteng Pulo-Kuburan Bersejarah di tengah Ibu Kota