Tak Pernah Terpikirkan tapi Didapat: Bermusik hingga ke Sydney

Dari atas ke bawah: OSUI Mahawaditra di Sydney Opera House (27/60),
Verbughen Hall Sydney Conservatorium of Music The Universty of Sydney (30/6),
Sydney Town Hall (1/7), Australian Maritime Museum (2/7)
Tuhan saya begitu hebat hingga membawa saya bermusik hingga ke Sydney. Saya hanya berharap dan meminta untuk berada dalam sebuah orkestra. Tidak ada permohonan saya terdahulu untuk sampai ke Luar Negeri bahkan bermain di Sydney Opera House. Saya hanya berharap saya dapat terus bermusik karena musik yang sedikit demi sedikit mengobati rasa duka dan kehilangan sangat besar. Bahkan sejujurnya rasa duka itu masih ada pada diri saya sampai saat ini. Saya tidak begitu kuat untuk mengingat rasa kehilangan ketika saya SMP dan karena rasa duka tersebut saya menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, salah satunya dengan bermusik. Ada rasa keinginan untuk bisa bermain kembali disana. Mungkin 20 menit tanggal 27 Juni 2015 adalah pertama dan terakhir kalinya saya bermain di Sydney Opera House dengan instrumen yang juga bukan milik saya. Rasa syukur yang begitu besar untuk setiap hal yang boleh saya nikmati bahkan yang tidak saya pikirkan sebelumnya. Oh God, You are so Great!!!

Masih hangat di ingatan, satu minggu yang lalu bersama teman-teman saya berada di benua sebelah. Tidak ada di benak sama sekali dapat menginjakkan kaki disana, apalagi bermain di gedung konser bergengsi yang menjadi ikon dari negara kangguru tersebut. Mengingat satu minggu lalu, teringat juga dengan apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Tidak ada bayangan sama sekali bahwa saya akan berada sejauh ini.


Sewaktu SMP, saya berharap dapat bergabung dengan salah satu orkestra entah itu apa. Saya hanya ingin suatu wadah untuk saya dapat bermusik. Modal saya saat itu hanya semangat anak kecil, violin murah, dan pengetahuan musik yang terbatas. Keadaan pada saat saya masih SMP tidak begitu baik. Bisa dikatakan keluarga saya termasuk juga saya dalam kondisi jiwa yang kurang baik karena masih ada dinaungi duka.

Entah apa yang terjadi SMA saya begitu bersemangat dengan dunia sosial, politik. Kesenian menjadi hiburan diwaktu luang. Keinginan waktu SMP masih ada, tapi apa daya waktu yang tidak ada. Saya masih terikat dengan kepengurusan di gereja. Bukan berarti saya menyalahkan pelayanan di gereja. Semua harus ada yang dikorbankan.

Beranjak untuk masuk di jenjang kuliah. Ada banyak hal yang tak terduga saya dapat. Mulai dari jurusan yang sekarang, kegiatan tempat saya berkecimpung begitu jauh. Jauh diluar apa  yang pernah saya bayangkan. Saya ingin meneruskan minat saya dalam sosial politik di kampus melalui tulisan. Saya tidak tahu apa yang membuat saya begitu malas dan tidak begitu bergairah mengerjakan tugas-tugas menulis tersebut. Biasanya, semangat muda saya akan menggebu-gebu menuliskan apa yang saya lihat. Pers Universitas gagal saya lewati. Pers Fakultas juga mengalami hal yang sama. Padahal keduanya saya mendaftar. Mungkin semangat saya turun.

Hanya sedikit bayangan saya ikut ansambel atau orkestra. Mungkin tiga tahun SMA cukup sedikit mengubur apa yang menjadi mimpi saya dikala duka tersebut. Entah mengapa saya bertemu juga dengan teman-teman yang suka bermusik di FISIP. Kaki saya langkahkan dalam pendaftaran terakhir di Open House OSUI Mahawaditra di Ruang Terapung Perpustakaan Pusat. Tidak ada gairah. Bahkan mungkin lebih bergairah pada Pers Kampus. Apa yang menggerakkan saya hingga akhirnya saya menuliskan nama pada pendaftaran.

Sama seperti UKM, kepanitiaan lain, OSUI (Orkes Simfoni Universitas Indonesia) Mahawaditra juga ada seleksi. Seleksi hari pertama saya tidak datang. Bangun kesiangan dan tidak tahu jalan menuju UI Salemba. Seleksi hari kedua saya datang dengan terlambat. Banyak soal yang saya tidak tahu jawabannya. Saya jawab yang saya tahu saja. Seleksi selesai dan beberapa minggu kemudian saya melihat nama saya di website OSUI Mahawaditra.

Rae Sita Michel dari Antropologi FISIP UI 2012 diterima di alat Bassoon. Apa  itu? Melihatnya mungkin saya belum. Diluar bayangan sama sekali. Saya hanya bisa bermain violin. Saya hanya ikut-ikut saja. Mengikuti segala rangkaian orientasi calon anggota.

Ketika menjadi anggota, naik turun sempat terjadi. Tiba-tiba tidak datang, tidak bergairah untuk berlatih, tekanan untuk HARUS CEPAT BISA main. Ada tekanan musik, ada tekanan secara organisasi. Walaupun terkesan saya hanya menerima hal yang negatif, orkestra ini seperti menjadi tempat kedua saya setelah rumah di tahun-tahun pertama kuliah. Tempat curhat ada di Mahawaditra, tempat tidur siang di sekretarian Mahawaditra, tempat berlatih di sekretarian dan di Balai Mahasiswa.
Waktu terus berjalan dan sedikit banyak sudah ada simpang siur Mahawaditra akan ke Sydney, Australia? Benarkah? Saya yakin saya tidak ikut. Suara buang angin saya saja lebih merdu dibandingka suara bassoon yang saya mainkan pada saat itu.

Waktu berjalan dan 2014 mulai datang. Seharusnya kami berangkat tahun lalu. Dugaan saya hampir tepat. Kami tidak berangkat karena kendala yang cukup banyak dan kendala yang paling besar adalah biaya. Semua orang kembali memandang sebelah mata Mahawaditra. Ah, apa sih itu orkestra? Ngek Ngok. Kalau nonton bikin ngantuk, hanya kelas elite penikmatnya.  Saya pesimis jika keberangkatan diundur tahun depan.

Tahun 2014 mulai berakhir dan tahun 2015 mulai datang. Semua gencar untuk mendekati pejabat-pejabat UI dan para sponsor. Mungkin tidak semua, hanya beberapa orang dan mereka berada di funding strategic. Awalnya saya berada di dalamnya, tapi karena koordinasi yang tidak berjalan baik saya tidak mengerjakan apa-apa hanya berlatih musik dan mengikuti kinerja dalam organisasi sebagai staff humas.

Bulan Juni semakin dekat, tekanan semakin tinggi. Tensi sudah mulai naik dan saya sudah paham belajar dari pengalaman tahun lalu. Bagi yang tidak paham, senggol bacok dan clash akan terjadi. Bagi yang sudah mengerti lebih baik mengingatkan yang lain untuk take it slow, waspada, dan mengerjakan bagiannya dengan benar. Kalau merasa tidak senang dengan beberapa hal lebih baik, simpan sejenak dan lupakan. Akan lebih baik jika segera diselesaikan jika mungkin.

Satu setengah bulan lagi kami akan berangkat, tapi apa yang terjadi. Saya mengalami kecelakaan lalu lintas. Satu minggu beristirahat di rumah menahan rasa sakit merupakan waktu yang sebentar untuk pemulihan. Tiga minggu absen orkes, entah mereka sudah sejauh mana dan saya belum begitu baik. Saya begitu menyusahkan orang lain sepertinya. Sangat menghambat.

Kembali lagi ke BM UI Salemba dengan keadaa masih tertatih-tatih. Berjalan saja masih belum sempurna apalagi membawa alat berat seperti bassoon. Dalam kelemahan saya berusaha, bahkan yang lain saya rasa juga demikian. Dalam setiap kelemahan mereka, mereka berusaha untuk menyiapkan diri sebaik mungkin untuk AIMF, sebuha batu loncata keras bagi Mahawaditra.
Kelompok terakhir yang akan berangkat ke Sydney, Australian.
Foto diambil beberapa menit sebelum boarding.

Harinya tiba dan beberapa dari kami sudah disana. Saya adalah kelompok terakhir yang berangkat ke Sydney. Jujur saja, ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Luar Negeri. Perasaan campur aduk menjadi satu. Bagaimana nanti bermain musik di negeri orang dengan kondisi musim dingin. Kaki saya yang terkadang masih kambuh jika salah penempatan atau sangat letih.

Akhirnya kami tiba di Sydney International Kingsford Smith Airport. Kami diajak berkeliling Sydney dan menikmati Bondi Beach. Sejujurnya saya ingin tiba di hotel saja untuk beristirahat mengingat nanti malam kami sudah bermain di Sydney Opera House. Setelah bermain-main dan berjalan-jalan, kami menuju hotel bersama dengan experience manager kami Rob.
OSUI Mahawaditra bersama dengan experience manager
kami, Robert di Australian Maritime Museum Darling Harbour.


Sore itu kami menuju Sydney Opera House. Pertama kalinya kesini dan sekalinya kesini untuk mencicipi panggungnya. Entah apa yang menggerakkan saya hingga akhirnya tiba disini. Menikmati panggung-panggung yang ada di Sydney. Bahkan kami, Mahawaditra, menjadi orkes Indonesia kedua dan orkes mahasiswa Indonesia pertama yang bermain disana. Serius kami adalah orkes kedua disana setelah Twilite Orchestra. Selain itu rasa kebanggan lain adalah ketika mencicipi panggung Sydney Town Hall, sebuah gedung konser bersejarah di Sydney dan kami adalah orkestra Indonesia pertama yang bermain disana. Bukan hanya sebagai orkestra Indonesia pertama, tapi kami disana mewakili Indonesia dalam International Showcase. Hanya ada lima orkestra yang ditunjuk mewakili kebudayaan yang berbeda-beda untuk berada disana.

Dua panggung lainnya kam jejaki di Sydney. Penampilan yang lain adalah di Verbughen Hall Sydney Conservatorium of Music dalam Adjudication Performance (penampilan kedua kami di Sydney) dan Australian Maritime Museum Darling Harbour. Pada adjudication performance kami mendapat plakat Silver atas penilaian dari dewan juri dan mendapat nilai 81 dari total nilai sempurna 100. Sebuah angka yang cukup besar untuk Silver karena nilai Gold dimulai dari 85. Sensasi lainnya lagi adalah ketika harus bermain di musim dingin, suhu tujuh derajat, dengan angin yang cukup  kuat dari lautan Sydney di Australian Maritime Museum pada penampilan outdoor. Ini adalah salah satu kekhawatiran saya, bermain di tempat dingin, tekanan udaranya besar. Selama di Jakarta karena saya tidak begitu banyak berolahraga karena kaki masih sakit, saya olahraga renang selama beberapa kali sebelum ke Sydney.


Rasa senang dan haru akan pencapaian orkestra mahasiswa tertua ini. Ada perasaan bangga dan menurunkan hati agar tidak jumawa. Sampai sekarang saya sudah kembali ke Tanah Air, saya masih merasa apakah yang kemarin adalah mimpi? Apa yang menggerakkan saya hingga sejauh ini? Jujur menurut saya permainan musik saya standar tapi saya tahu bahwa orkestra adalah permainan tim. Orkes Simfoni Universitas Indonesia Mahawaditra, namamu benar-benar membawamu hingga ke Sydney menggemakan suara agung yang menjadi arti dari nama Mahawaditra itu sendiri.

Tuhan saya begitu hebat hingga membawa saya bermusik hingga ke Sydney. Saya hanya berharap dan meminta untuk berada dalam sebuah orkestra. Tidak ada permohonan saya terdahulu untuk sampai ke Luar Negeri bahkan bermain di Sydney Opera House. Saya hanya berharap saya dapat terus bermusik karena musik yang sedikit demi sedikit mengobati rasa duka dan kehilangan sangat besar. Bahkan sejujurnya rasa duka itu masih ada pada diri saya sampai saat ini. Saya tidak begitu kuat untuk mengingat rasa kehilangan ketika saya SMP dan karena rasa duka tersebut saya menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, salah satunya dengan bermusik. Ada rasa keinginan untuk bisa bermain kembali disana. Mungkin 20 menit tanggal 27 Juni 2015 adalah pertama dan terakhir kalinya saya bermain di Sydney Opera House dengan instrumen yang juga bukan milik saya. Rasa syukur yang begitu besar untuk setiap hal yang boleh saya nikmati bahkan yang tidak saya pikirkan sebelumnya. Oh God, You are so Great!!!

Mungkin Tuhan tidak memberikan saya bersama dengan violin yang saya miliki. Ia menaruh saya pada instrumen yang demikian jarang dan mahal. Bahkan sampai sekarang saya tidak sanggup untuk membelinya. Instrumen yang saya pakai saat ini milik OSUI Mahawaditra. Ya ini semua akan berlalu, akan lewat kenangan bersama bassoon yang bukan milik saya dan Sydney yang saya tidak tahu kapan saya akan datang kembali dan ingin rasanya ketika kembali kesana juga kembali bermusik. Semua ini tidak pernah saya bayangkan, tapi Ia yang benar-benar Papa saya yang sejati memberikannya untuk saya anak perempuannya ini.
Saya dan pemandangan Sydney Opera House dan Darling Harbour.

Comments

Popular posts from this blog

Indie Book Shop Tour: Wisata Asik Bagi Para Pecinta Buku

Diam & Dengarkan: Katarsis dalam Sebuah Retreat di Balik Layar Kaca

Ereveld Menteng Pulo-Kuburan Bersejarah di tengah Ibu Kota