Wacana Kolaborasi Dua Roda Mekanik

Kembali kami duduk bersama, berbicara. Akhirnya, topik kami berkembang, tidak jalan di tempat. Aku bersyukur dengan keadaan ini. Tidak hanya untuk dia tapi untuk keadaan yang ada, yang membuatku lebih tenang. Fragmen si pendengar cerita sudah mulai berubah cerita.

Aku sedikit memberi diri dan dia mengerti. Akhirnya kami bertukar cerita. Aku tidak berharap mendapatkan sesuatu dari kotak hartanya karena kuberikan secuil dari kotak hartaku. Bukan karena aku ingin tahu apa yang ada didalamnya sehingga aku memberi sedikit bagian berharga milikku. Aku hanya ingin memberikannya saja tanpa pamrih.

Kami sama? Tidak! Kami berbeda. Terlihat serupa, tapi tidak sama. Ajakan mencipta bersama? Kupikir jangan. Terlalu terburu-buru akibat sebuah penyataan yang jujur. Bukan itu maksudku. Bukan juga aku menutup diri. Ini bukan saatnya. Ini bukan tempatnya. Semua perlu diuji kembali.

Telah terpikir olehku untuk itu. Bukan dengan dia, tapi bisa jadi juga dengan dia. Aku tidak ingin sebuah tanda manipulatif, aku ingin sesuatu yang benar dan tepat bukan topeng. Hampir tiap hari kuusahakan mengkontrol diriku. Sepertinya bukan. Hampir tiap hari kuserahkan Ia mengontrol diriku dan untuk sebuah jawaban yang tepat. Aku tidak mengerti diriku. Perlu waktu, sehingga kuserahkan pada Dia yang mengerjakan mesin diesel ini.

Apakah dalam satu bidang? Belum tentu. Satu karya besar dengan bidang yang berbeda, kupikir itu hebat. Mengapakah dirimu? Tanya pada diri sendiri. Aku hanya butuh bekerja, berkolaborasi dengan orang yang tepat. Aku membayangkan kami adalah dua roda besar seperti roda mekanik. Tidak sempurna dan saling bergandengan. Satu mati, yang lain mati. Semacam itu kolaborasi. Itu doaku.

Aku tidak dapat mengulang apa yang telah kucipta. Re-kreasi hanya membuat suatu tanda manipulatif, tidak lagi murni. Aku ingin mempersembahkan kejujuran dan kuharap kalian melihat kejujuran itu. Maaf, jika ketika diminta lagi, tak kuberi hanya karena aku ingin memberikan yang terbaik. Ada saatnya untuk orang yang tepat. Apakah itu dirimu? Belum tentu. Bahkan aku meragu.

Jika tidak mengerti, aku tak meng-apa. Tidak harus pembaca mengerti karena aku hanya butuh menulis. Kamu punya kaca mata sendiri. Aku juga, tapi akulah pencipta ini dan kebenaran sejatinya ada padaku yang membuatnya.

Comments

Popular posts from this blog

Indie Book Shop Tour: Wisata Asik Bagi Para Pecinta Buku

Diam & Dengarkan: Katarsis dalam Sebuah Retreat di Balik Layar Kaca

Ereveld Menteng Pulo-Kuburan Bersejarah di tengah Ibu Kota