Drama Wisuda


Dua hari yang lalu, secara resmi gelar sarjana saya terpampang sekaligus sebuah penanda saya resmi sebagai seorang alumni. Seperti apa yang pernah saya ceritakan sebelumnya ada lika-liku dan perjalanan panjang hingga akhirnya saya dapat lulus dari kampus ini. Bukan suatu kebanggaan karena saya tidak cum laude, saya juga tidak selesai sama seperti pada umumnya mahasiswa, 4 tahun tapi 5 tahun. Mungkin seharusnya saya malu dan tidak mengatakan kepada siapa-siapa bahwa saya telah lulus atau apa pun yang berhubungan dengan kehidupan akademik saya, tapi tidak juga. Saya percaya dalam setiap jatuh bangun yang kita alami karena kenakalan kita dan karena diizinkan oleh Tuhan, ada pelajaran-pelajaran tertentu yang ingin diberikan kepada saya.

Drama untuk dapat ACC sidang, sidang, urus mengurus administrasi pasca sidang dan untuk wisuda telah dilewati. Seharusnya untuk dapat wisuda, tidak perlu lagi ada drama-drama yang tidak terduga. Saya hanya perlu terima toga, datang gladi resik wisuda sekaligus berfoto bersama Rektor dan Dekan, besoknya datang wisuda, dan semua selesai.

Tidak Lagi Bermain Orkestra
Saya pernah mengatakan bahwa saya tidak akan bermain orkestra mengiringi wisuda seperti yang biasa saya lakukan setiap wisuda UI berlangsung karena saya ingin berada teman-teman saya. Satu minggu sebelum saya wisuda, salah satu anggota orkestra menghubungi saya untuk bermain bassoon karena tidak ada yang bermain di wisuda pada hari Jumat, hari dimana saya wisuda.

Dilema bagi saya karena sudah lama tidak meniup, tapi juga mau turut membantu. Akhirnya saya beranikan untuk ikut berlatih di hari Sabtunya. Untungnya bunyi, tapi lebih capek saja. Di hari itu saya mengiyakan untuk dapat bermain orkestra.

Kecelakaan H-3 Wisuda
Drama yang paling drama muncul di hari selasa ketika saya pulang dari kantor. Saya diserempet mobil dan tangan kiri memar. Saya juga merasa sakit di dada. Ketika sampai rumah saya langsung minta diurut agar cepat sembuh karena saya harus sembuh. Setelah diurut, memang masih sakit tapi tidak sesakit sebelumnya.

Besok paginya saya tidak mengendarai motor ke kantor karena pemulihan tangan yang masih sakit dan memar. Di hari itu juga, Richard datang ke Jakarta untuk mengurus beberapa barang terkait pekerjaannya di Manado dan menghadiri acara wisuda saya di hari Jumat.

Rasa sakit di dada yang saya rasakan pada saat kecelakaan kemarin turun ke bagian ulu hati. Terkadang mual dan sakit. Saya kira masuk angin, tapi saya sudah mengolesi perut dengan minyak angin tidak buang angin dan tidak meringankan rasa sakit. Rasa sakitnya makin menjadi ketika saya pulang.

Sampai di rumah, saya tidak sanggup lagi untuk melakukan apa-apa. Tas yang masih tersandang di punggung ikut bersama saya tidur meringkuk di ruang tamu. Saya harus memaksakan diri saya untuk makan walaupun sedikit, setelah itu ke Puskesmas. Asuransi kesehatan yang saya miliki saat itu hanya BPJS, jadi saya harus ke Puskesmas dulu. Setelah makan, saya memesan gojek untuk ke Puskesmas.

Ketika di Puskesmas, saya sebenarnya sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang saya rasakan. Praise The Lord! ada kesalahan petugas memanggil nama-nama antrian. Seharusnya saya masih harus menunggu lagi, tapi karena kartu saya yang dia pegang lebih dulu, saya masuk ruang periksa lebih dulu. Ada rasa tidak enak, tapi saya ikuti arahan petugas saja, toh itu bukan kesalahan yang saya buat. Saya diindikasi memiliki sakit lambung, setelah periksa, terima obat, saya pulang. Perut saya masih sakit sekali dan memutuskan untuk mandi dan setelahnya berbaring saja di kamar.

Kehilangan Momen Diarak dengan Odong-odong
Ada suatu kebiasaan pada wisuda genap, yaitu arak-arakan wisudawan. Saya diundang untuk dapat hadir wisuda lokal di FISIP UI dan arak-arakan wisudawan Antropologi UI. Namun, segala euforia itu harus saya hilangkan dalam hidup karena saya masih sakit pada saat paginya. Saya kembali ke puskesmas untuk check ulang diantar oleh Richard. Bersyukur atas kerja keras pemerintah, Puskesmas Kebayoran Baru walaupun kecil, tapi rapi dan bersih, jadi nyaman saja disana. Kalau lahannya luas, seperti rumah sakit kecil juga sih. Setelah check, diagnosanya masih sama, ada masalah di lambung, semacam maag akut. Padahal saya belum pernah sakit maag sebelumnya.

Antropologi UI 2012 yang tersisa dan hanya saya yang tertinggal

Pulang kembali ke rumah pukul 10.00, saya harus buru-buru bersiap untuk Gladi Resik dan foto bersama rektor dan dekan. Semua saya kerjakan sendiri, tidak ada make up artis. Untuk pertama kalinya Richard harus menunggu saya berdandan lama. Karena saya masih sakit, saya diantar ke UI, foto-foto bersama sebentar dan berada di barisan untuk mengikuti Gladi Resik. Setelah GR selesai, untungnya saya tidak sakit lagi, hanya sesekali mual dan masih bisa menyetir mobil.

Karena sakit yang saya alami, saya tidak mungkin bermain orkestra juga. Meniup menekan bagian perut dan memang yang bermasalah adalah bagian perut saya. Agak sedih juga. Ketika hari wisuda pun, teman-teman saya datang terlambat, sehingga agak terpisah. Alhasil saya duduk sendiri, tapi di dekat panggung ditengah balairung tempat OSUI Mahawaditra bermain.

Antropologi UI 2012. Semoga sukses kedepannya.



Berserah
Dalam perjalanan, saya berkali-kali mengatakan bahwa saya sedih tidak bisa ikut wisuda lokal dan mengapa hal ini terjadi disaat saya akan wisuda, tapi Richard menenangkan dan mengingatkaan tentang berserah saja atas keadaan yang ada. Lagipula, ini adalah kejadian diluar kemampuan saya.

Selama ia di Manado, Richard banyak belajar tentang berserah terhadap rancangan Tuhan karena kepergiannya dan menetapnya dia di Manado bukanlah kemauannya. Seperti tidak dapat menolak, ia harus ke Manado dan menetap untuk waktu yang tidak tahu sampai kapan.

Untuk beberapa hal saya pun merasakan kecewa mengapa tidak bisa begini atau begitu, mengapa harus begini dan tidak begitu. Apa yang diharapkan dan dirancangkan tidak terjadi, tapi ketika Richard mengingatkan kembali, ada rasa penghiburan dan ada perasaan saya yang begitu kecil. Dalam setiap "drama-drama kehidupan" ada bagian-bagian dimana memang kita tidak dapat melakukan apa-apa. Kita hanyalah aktor yang harus menurut apa yang tertulis di naskah dan yang diarahkan oleh sutradara juga produser. Sutradara dan produser hidup itu adalah Tuhan. Kalau aktor dapat mengetahui alur dan akhir cerita, kita tidak tahu  bagaimana akhir dari drama yang sedang kita mainkan.

Comments

Popular posts from this blog

Indie Book Shop Tour: Wisata Asik Bagi Para Pecinta Buku

Diam & Dengarkan: Katarsis dalam Sebuah Retreat di Balik Layar Kaca

Ereveld Menteng Pulo-Kuburan Bersejarah di tengah Ibu Kota